Minggu, 20 Juli 2008

PERNIKAHAN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله رب العالمين
Pada besok Tgl 22 Juli 2008 Malam rabu paing di acara maulid simtud duror ahbabul musthofa kudus ada acara syakral ya itu Walimatussurur / Pernikahan, Baru kali ini acara maulid ahbabul musthofa kudus ada acara seperti itu,yang melaksanakan perniakhan tidak asing lagi ya itu M.ALI ridlo (Gus ALDO) cucu dari mbah HASAN MANGKLI ,acara tersebut juga terbuka untuk umum, "Kalam dari Al Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf Acara Zuatan / walimatussurur bukan khusus untuk pengurus Ahbabul musthofa tapi untuk umum tapi kalo bertepatan acara selapanan di Masjid Agung Kudus"

MENJADI SAHABAT YANG MENYENANGKAN Secara fitrah, menikah akan memberikan ketenangan
(ithmi'nân/thuma'nînah) bagi setiap manusia, asalkan pernikahannya dilakukan sesuai dengan aturan Allah Swt., Zat Yang
mencurahkan cinta dan kasih-sayang kepada manusia.
Hampir setiap Mukmin mempunyai harapan yang sama tentang keluarganya, yaitu ingin bahagia; sakînah mawaddah
warahmah. Namun, sebagian orang menganggap bahwa menciptakan keluarga yang sakinah mawaddah warahmah
serta langgeng adalah hal yang tidak gampang. Fakta-fakta buruk kehidupan rumahtangga yang terjadi di masyarakat
seolah makin mengokohkan asumsi sulitnya menjalani kehidupan rumahtangga. Bahkan, tidak jarang, sebagian orang
menjadi enggan menikah atau menunda-nunda pernikahannya.
Menikahlah, Karena Itu Ibadah
Sesungguhnya menikah itu bukanlah sesuatu yang menakutkan, hanya memerlukan perhitungan cermat dan persiapan
matang saja, agar tidak menimbulkan penyesalan. Sebagai risalah yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna), Islam
telah memberikan tuntunan tentang tujuan pernikahan yang harus dipahami oleh kaum Muslim. Tujuannya adalah agar
pernikahan itu berkah dan bernilai ibadah serta benar-benar memberikan ketenangan bagi suami-istri. Dengan itu akan
terwujud keluarga yang bahagia dan langgeng. Hal ini bisa diraih jika pernikahan itu dibangun atas dasar pemahaman
Islam yang benar.
Menikah hendaknya diniatkan untuk mengikuti sunnah Rasullullah saw., melanjutkan keturunan, dan menjaga
kehormatan. Menikah juga hendaknya ditujukan sebagai sarana dakwah, meneguhkan iman, dan menjaga kehormatan.
Pernikahan merupakan sarana dakwah suami terhadap istri atau sebaliknya, juga dakwah terhadap keluarga keduanya,
karena pernikahan berarti pula mempertautkan hubungan dua keluarga. Dengan begitu, jaringan persaudaraan dan
kekerabatan pun semakin luas. Ini berarti, sarana dakwah juga bertambah. Pada skala yang lebih luas, pernikahan
islami yang sukses tentu akan menjadi pilar penopang dan pengokoh perjuangan dakwah Islam, sekaligus tempat
bersemainya kader-kader perjuangan dakwah masa depan.
Inilah tujuan pernikahan yang seharusnya menjadi pijakan setiap Muslim saat akan menikah. Karena itu, siapa pun yang
akan menikah hendaknya betul-betul mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk meraih tujuan pernikahan
seperti yang telah digariskan Islam. Setidaknya, setiap Muslim, laki-laki dan perempuan, harus memahami konsepkonsep
pernikahan islami seperti: aturan Islam tentang posisi dan peran suami dan istri dalam keluarga, hak dan
kewajiban suami-istri, serta kewajiban orangtua dan hak-hak anak; hukum seputar kehamilan, nasab, penyusuan,
pengasuhan anak, serta pendidikan anak dalam Islam; ketentuan Islam tentang peran Muslimah sebagai istri, ibu, dan
manajer rumahtangga, juga perannya sebagai bagian dari umat Islam secara keseluruhan, serta bagaimana jika
kewajiban-kewajiban itu berbenturan pada saat yang sama; hukum seputar nafkah, waris, talak (cerai), rujuk, gugat
cerai, hubungan dengan orangtua dan mertua, dan sebagainya. Semua itu membutuhkan penguasaan hukum-hukum
Islam secara menyeluruh oleh pasangan yang akan menikah. Artinya, menikah itu harus didasarkan pada ilmu.
Jadilah Sahabat yang Menyenangkan
Pernikahan pada dasarnya merupakan akad antara laki-laki dan perempuan untuk membangun rumahtangga sebagai
suami-istri sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Sesungguhnya kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah
kehidupan persahabatan. Suami adalah sahabat karib bagi istrinya, begitu pula sebaliknya. Keduanya benar-benar
seperti dua sahabat karib yang siap berbagi suka dan duka bersama dalam menjalani kehidupan pernikahan mereka
demi meraih tujuan yang diridhai Allah Swt. Istri bukanlah sekadar partner kerja bagi suami, apalagi bawahan atau
pegawai yang bekerja pada suami. Istri adalah sahabat, belahan jiwa, dan tempat curahan hati suaminya.
Islam telah menjadikan istri sebagai tempat yang penuh ketenteraman bagi suaminya. Allah Swt. berfirman:
Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri supaya kalian
cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (QS ar-Rum [30]: 21).
Maka dari itu, sudah selayaknya suami akan merasa tenteram dan damai jika ada di sisi istrinya, demikian pula
sebaliknya. Suami akan selalu cenderung dan ingin berdekatan dengan istrinya. Di sisi istrinya, suami akan selalu
mendapat semangat baru untuk terus menapaki jalan dakwah, demikian pula sebaliknya. Keduanya akan saling tertarik
dan cenderung kepada pasangannya, bukan saling menjauh. Keduanya akan saling menasihati, bukan mencela; saling
menguatkan, bukan melemahkan; saling membantu, bukan bersaing. Keduanya pun selalu siap berproses bersama
meningkatkan kualitas ketakwaannya demi meraih kemulian di sisi-Nya. Mereka berdua berharap, Allah Swt. berkenan
mengumpulkan keduanya di surga kelak. Ini berarti, tabiat asli kehidupan rumahtangga dalam Islam adalah
ithmi'nân/tuma'ninah (ketenangan dan ketentraman). Walhasil, kehidupan pernikahan yang ideal adalah terjalinnya
kehidupan persahabatan antara suami dan istri yang mampu memberikan ketenangan dan ketenteraman bagi keduanya.
Untuk menjamin teraihnya ketengan dan ketenteraman tersebut, Islam telah menetapkan serangkaian aturan tentang
hak dan kewajiban suami-istri. Jika seluruh hak dan kewajiban itu dijalankan secara benar, terwujudnya keluarga yang
sakinah mawaddah warahmah adalah suatu keniscayaan.
Bersabar atas Kekurangan Pasangan
Kerap terjadi, kenyataan hidup tidak seindah harapan. Begitu pula dengan kehidupan rumahtangga, tidak selamanyaberlangsung tenang. Adakalanya kehidupan suami-istri itu dihadapkan pada berbagai problem baik kecil ataupun besar,
yang bisa mengusik ketenangan keluarga. Penyebabnya sangat beragam; bisa karena kurangnya komunikasi antara
suami-istri, suami kurang makruf terhadap istri, atau suami kurang perhatian kepada istri dan anak-anak; istri yang
kurang pandai dan kurang kreatif menjalankan fungsinya sebagai istri, ibu, dan manajer rumahtangga; karena adanya
kesalahpahaman dengan mertua; atau suami yang 'kurang serius' atau 'kurang ulet' mencari nafkah. Penyebab lainnya
adalah karena tingkat pemahaman agama yang tidak seimbang antara suami-istri; tidak jarang pula karena dipicu oleh
suami atau istri yang selingkuh, dan lain-lain.
Sesungguhnya Islam tidak menafikan adanya kemungkinan terusiknya ketenteraman dalam kehidupan rumahtangga.
Sebab, secara alami, setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti dihadapkan pada berbagai persoalan. Hanya saja,
seorang Muslim yang kokoh imannya akan senantiasa yakin bahwa Islam pasti mampu memecahkan semua problem
kehidupannya. Oleh karena itu, dia akan senantiasa siap menghadapi problem tersebut, dengan menyempurnakan
ikhtiar untuk mencari solusinya dari Islam, seiring dengan doa-doanya kepada Allah Swt. Sembari berharap, Allah
memudahkan penyelesaian segala urusannya.
Keluarga yang sakinah mawaddah warahmah bukan berarti tidak pernah menghadapi masalah. Yang dimaksud adalah
keluarga yang dibangun atas landasan Islam, dengan suami-istri sama-sama menyadari bahwa mereka menikah adalah
untuk ibadah dan untuk menjadi pilar yang mengokohkan perjuangan Islam. Mereka siap menghadapi masalah apapun
yang menimpa rumahtangga mereka. Sebab, mereka tahu jalan keluar apa yang harus ditempuh dengan bimbingan
Islam.
Islam telah mengajarkan bahwa manusia bukanlah malaikat yang selalu taat kepada Allah, tidak pula ma'shûm
(terpelihara dari berbuat maksiat) seperti halnya para nabi dan para rasul. Manusia adalah hamba Allah yang memiliki
peluang untuk melakukan kesalahan dan menjadi tempat berkumpulnya banyak kekurangan. Pasangan kita (suami atau
istri) pun demikian, memiliki banyak kekurangan. Karena itu, kadangkala apa yang dilakukan dan ditampakkan oleh
pasangan kita tidak seperti gambaran ideal yang kita harapkan. Dalam kondisi demikian, maka sikap yang harus diambil
adalah bersabar!
Sabar adalah salah satu penampakan akhlak yang mulia, yaitu wujud ketaatan hamba terhadap perintah dan larangan
Allah Swt. Sabar adalah bagian hukum syariat yang diperintahkan oleh Islam. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 153; QS az-
Zumar [39]: 10).
Makna kesabaran yang dimaksudkan adalah kesabaran seorang Mukmin dalam rangka ketaatan kepada Allah; dalam
menjalankan seluruh perintah-Nya; dalam upaya menjauhi seluruh larangan-Nya; serta dalam menghadapi ujian dan
cobaan, termasuk pula saat kita dihadapkan pada 'kekurangan' pasangan (suami atau istri) kita.
Namun demikian, kesabaran dalam menghadapi 'kekurangan' pasangan kita harus dicermati dulu faktanya. Pertama:
Jika kekurangan itu berkaitan dengan kemaksiatan yang mengindikasikan adanya pelalaian terhadap kewajiban atau
justru melanggar larangan Allah Swt. Dalam hal ini, wujud kesabaran kita adalah dengan menasihatinya secara makruf
serta mengingatkannya untuk tidak melalaikan kewajibannya dan agar segera meninggalkan larangan-Nya. Contoh pada
suami: suami tidak berlaku makruf kepada istrinya, tidak menghargai istrinya, bukannya memuji tetapi justru suka
mencela, tidak menafkahi istri dan anak-anaknya, enggan melaksanakan shalat fardhu, enggan menuntut ilmu, atau
malas-malasan dalam berdakwah. Contoh pada istri: istri tidak taat pada suami, melalaikan pengasuhan anaknya,
melalaikan tugasnya sebagai manajer rumahtangga (rabb al-bayt), sibuk berkarier, atau mengabaikan upaya menuntut
ilmu dan aktivitas amar makruf nahi mungkar. Sabar dalam hal ini tidak cukup dengan berdiam diri saja atau nrimo
dengan apa yang dilakukan oleh pasangan kita, tetapi harus ada upaya maksimal menasihatinya dan mendakwahinya.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan, kita senantiasa mendoakan pasangan kita kepada Allah Swt.
Kedua: Jika kekurangan itu berkaitan dengan hal-hal yang mubah maka hendaknya dikomunikasikan secara makruf di
antara suami-istri. Contoh: suami tidak terlalu romantis bahkan cenderung cuwek; miskin akan pujian terhadap istri,
padahal sang istri mengharapkan itu; istri kurang pandai menata rumah, walaupun sudah berusaha maksimal tetapi
tetap saja kurang estetikanya, sementara sang suami adalah orang yang apik dan rapi; istri kurang bisa memasak
walaupun dia sudah berupaya maksimal menghasilkan yang terbaik; suami "cara bicaranya" kurang lembut dan
cenderung bernada instruksi sehingga kerap menyinggung perasaan istri; istri tidak bisa berdandan untuk suami, model
rambutnya kurang bagus, hasil cucian dan setrikaannya kurang rapi; dan sebagainya. Dalam hal ini kita dituntut
bersabar untuk mengkomunikasikannya, memberikan masukan, serta mencari jalan keluar bersama pasangan kita. Jika
upaya sudah maksimal tetapi belum juga ada perubahan, maka terimalah itu dengan lapang dada seraya terus
mendoakannya kepada Allah Swt. (Lihat: QS an-Nisa' [4]: 19). Rasulullah saw. bersabda:
Janganlah seorang suami membenci istrinya. Jika dia tidak menyukai satu perangainya maka dia akan menyenangi
perangainya yang lain. (HR Muslim).
Inilah tuntunan Islam yang harus dipahami oleh setiap Mukmin yang ingin rumahtangganya diliputi dengan kebahagiaan,
cinta kasih, ketenteraman, dan langgeng. Wallâhu a'lam bi ash-shawab. (Nurul Husna, Aktivis Hizbut Tahrir, Ibu Rumah
Tangga )



by:H.Sholichul Huda,mz